Santi Dwi Setiyoningrum,Paskibraka Era 1996 dari Jember
Merinding Tiap Kali Mendengar Derap Suara Sepatu Paskibra
Pelaksanaan upacara peringatan hari kemerdekaan Indonesia membawa kenangan tersendiri bagi Santi Dwi Setyoningrum.Sebagai paripurna paskibra,20 tahun lalu dirinya menjadi bagian spesial dari pasukan pengibar bendera di Istana Negara.Lalu bagaimana wanita berhijab ini kini memandang adik-adik paskibra juniornya?Lintang ANIS BENA K,Jember
MATANYA terlihat sedikit berkaca-kaca ketika mengikuti rangkaian pelaksanaan upacara peringatan hari kemerdekaan Indonesia di Alun-Alun Jember.Walaupun tak lagi aktif sebagai pasukan pengibar bendera(paskibra),namun tak di pungkiri hatinya masih bergetar tiap kali menyaksikan para pelajar berseragam putih mengibarkan bendera putih dengan khidmat.
Teringat masa lalu,mungkin.Santi sendiri merupakan salah satu pelajar yang tergabung menjadi paskibraka nasional.Bersama 53 pelajar lain dari seluruh provinsi,tahun 1996 dirinya tampil dihadapan Presiden Soeharto pada sesi penurunan bendera.
Nelangsa Lihat Nasionalisme mulai Memudar
Usai prosesi upacara berakhir,Santi ikut berkumpul sejenak dengan junior-juniornya yang tengah beristirahat.Tak jarang senyum dan ucapan selamat dia tebarkan pada pelajar-pelajar seantero Jember yang mewakili sekolahnya menjadi pasukan pengibar bendera.Santi juga sempat bercerita mengenai pengalamannya semasa menjadi paskibraka di Istana Negara.
Terjunnya Santi Sebagai anggota paskibraka bisa dibilang tidak disengaja.Karena diketahui pernah menjadi anggota Patroli keamanan Sekolah(PKS)atau Polisi cilik tingkat provinsi,dirinya diminta oleh kakak kelasnya di SMA untuk mengikuti seleksi paskibra kabupaten."Padahal saat itu tinggi saya tak jauh dari batas minimal,sekitar 163 sentimeter,"tuturnya.
Namun begitu wanita kelahiran 25 September 1979 ini lolos hingga seleksi tingkat provinsi.Padahal kala itu seleksi paskibraka jauh lebih sulit dibandingkan dengan seleksi saat ini."Di masa saya,satu kabupaten atau kotamadya hanya mengirimkan satu pasang paskibra dan langsung diseleksi di Surabaya,Sementara yang saya dengar saat ini satu kabupaten bisa mengirim lima pasang dan diseleksi berdasarkan regional sehingga kansnya lebih besar,"lanjut Santi.
Tak diduga,walaupun pesimis bisa lolos seleksi,ternyata ibu tiga orang anak ini mendapat panggilan sebagai paskibraka mewakili Jawa Timur.Dia dilanda kegundahan,sebab pada saat yang sama keluarganya tengah dilanda cobaan berat."Ayah saya baru saja meninggal,"kenangnya.
Dalam kondisi mental yang drop,Santi Sempat terpikir un tuk tak mengindahkan panggilan tersebut.sama sekali tak ada persiapan yang dia lakukan.Alasannya satu:tak punya biaya."Selain secara ekonomi masih lemah karena baru ditinggal orang tua,saya juga tidak punya perlengkapan apapun untuk karantina,"lanjutnya.
Namun setelah dukungan berbagai pihak,akhirnya anak kedua dari empat bersaudara ini berangkat juga ke Istana Negara.Keberangkatannya saat itu bisa dibilang bonek alias bondo nekat."Saya nggak punya baju daerah,nggak punya bekal ilmu paskibraka yang matang,"kata dia.Meskipun demikian dirinya tetap memutuskan untuk berangkat.
Selama dua bulan wanita berhijab ini mengikuti masa karantina dicibubur.Selain pelatihan baris berbaris,pembekalan wawasan kebangsaan dan nasionalisme juga dia dapatkan secara intensif Hingga akhirnya seluruh paskibraka dikukuhkan menjelang upacara oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Kabinet Pembangunan VI,Wardiman Djojonegoro.
Ada pengalaman yang tak pernah Santi lupakan ketika menjalani pelatihan di Istana Negara,yaiti ketika satu persatu paskibraka diminta untuk mengibarkan bendara.Menurutnya,prosesi ini sangat berbeda dengan di Alun-Alun Jember.Selain benderanya sangat berat,sekitar enam kilogram,anginnya kencang sekali,sehingga kalau tidak berhati-hati secara teknis bisa saja banyak terjadi gangguan,"paparnya.
Begitu pula dengan proses pengibaran bendera.Wanita yang tinggal di Jalan Kaliurang itu terkenang akan kalimat salah satu trainer di Cibubur yang menegaskan jangan sampai bendera jatuh ke tanah,sebab ada regu penembak jitu yang siap untuk menembak paskibra jika bendera ini menyentuh tanah.Hal tersebut membuat paskibra harus ekstra hati-hati.
Hanya saja,Santi memandang paskibra saat ini tidak sama dengan paskibra pada masanya.Selain dari sisi nasionalisme remaja yang mulai memudar,sikap individualisme remaja saat ini juga semakin tinggi.
"Saya bilang ke adik-adik paskibra,sekarang lebih santai tetapi soul dan jiwanya nggak dapet.Kalau dulu,ketika mendengar suara derap pertama sepatu paskibra,jiwa para pasukan dan penonton yang hadir langsung terpaku dan khidmat,sampai bikin merinding.Tapi sekarang sudah tidak seperti itu,"tuturnya.
Begitu selesai penurunan bendera,kata Santi,seluruh anggota paskibraka langsung menangis sembari berpelukan karena berhasil menuaikan tugas mulia melindungi bendera merah putih hingga selesai.Sayangnnya rasa tersebut tak tampak dari anggota paskibra sekarang.
"Sekarang begitu selesainya ketawa-ketawa sambil foto-foto,"keluhnya.
Melihat itu,dirinya merasa nelangsa.Nelangsa karena semangat persatuan,kesatuan,dan nasionalisme generasi penerus bangsa itu telah memudar.Bahkan ada juga anggota paskibra yang lupa lirik lagu Indonesia Raya."Padahal itu basic banget,"katanya.
Minat remaja untuk menjadi anggota paskibra saat ini juga sudah mulai hilang.Dari sekolah-sekolah di Jember,kebanyakan malah sekolah di pinggiran yang mengembangkan kemampuan paskibra-nya."Sekarang lebih banyak yang mengeband,"selorohnya.(hdi)
Sumber: Jawa Pos Radar Jember 21 Agustus 2016
Jd teringat masa2 itu, tahun yg tdk akan prnah terlupakan ketika menjadi anggota paskibraka. Boleh tau nama fb santi? Mujnah dr NTT.
BalasHapusJd teringat masa2 itu, tahun yg tdk akan prnah terlupakan ketika menjadi anggota paskibraka. Boleh tau nama fb santi? San...kalo baca ini lgsg mampir ke akun aq ya bundaindykasman.
BalasHapusMujnah dr NTT.