Gus Fikri,dari Demonstran Jadi Pengasuh Pesantren
Sejak kecil Langganan Juara Pidato antarsiswa
Menyandang predikat difabel bukan berarti kehilangan masa depan.Dan,itulah yang ditunjukan KH Mushodiq Fikri Faruq(Gus Fikri),pengasuh Pondok Pesantren(Ponpes)Riyadussholihin,JL Patimura,Gebang,Jember.Sehari-harinya,dia sibuk urusan umat,baik di lingkungan pondok maupun menghadiri undangan ceramah di berbagai daerah.SHODIQ SYARIEF,Jember
BAGI warga Jember,khususnya di Lingkungan Jl Patimura,Gebang,nama Gus Fikri,panggilan akrab KH Mushodiq Fikri Faruq,tidak asing lagi.Selain sebagai pengasuh Ponpes Riyadussholihin,dia adalah mubalig kondang yang kerap diundang untuk berceramah di berbagai tempat,baik di Jember maupun luar kota.
Bahkan,putra kelima dari sembilan bersaudara ini pernah berceramah di Universitas Harvard,Amerika Februari 2002 lalu,untuk menjelaskan tentang islam dan Terorisme.Juga pernah diundang ke Kanada,Brazil,PBB,tentang konferensi kaum difabel internasional.
Tak Kesulitan Membagi Waktu
"Modalnya berbahasa Arab dan Sedikit Bahasa Inggris,"ujarnya,Kepada Jawa Pos Radar Jember.
Kedatangannya ke Negara Paman sam itu berkat undangan Kedubes AS di Jakarta untuk menjelaskan tentang islam dan terorisme,pasca peristiwa Black September(9/11/2001)yang mengguncang dunia saat itu.Gus fikri juga tidak tahu proses dan alasannya mengapa tiba-tiba dirinya yang diundang ke negara adikuasa tersebut.Menariknya, Gus Fikri diundang sendirian ke negara demokrasi terbesar di dunia, tanpa disertai pendamping. Sebab, pihak pengundang tidak menyediakan fasilitas untuk pendamping, karena mungkin semua dianggap dirinya bukan difabel. "Begitu sampai di Amerika, banyak yang terharu bahwa calon narasumber memakai kursi roda," tutur Gus Fikri.
Jika kin Gus Fikri dikenal sebagai penceramah populer, sebenarnya tak lepas dari "gen" kedua orang tuanya yang berasal dari kalangan ulama besar. Dari pihak ayahnya, Gus Fikri merupakan cicit dari Mbah Siddiq, Talangsari. Sedangkan dari pihak ibu, dia adalah cicit dari Mbah Wahab, salah seorang pendiri NU, KH Wahab Hasbulloh, Jombang.
Namun bukan lantaran (hanya) "gen" ulama besar yang mengantarkan Gus Fikri menjadi oratur ulung. Sejak balita, dia memang sudah "dilatih" oleh ayahandanya, KH Faruq, untuk mengikuti safari kaliling memberi ceramah di berbagai tempat. Artinya, ayahnya memang selalu mengajak putra putrinya ketika diundang berceramah diberbagai tempat, termasuk di luar daerah. "Jadi, kami terbiasa mendengarkan orang pidato. Termasuk belajar berceramah," tutur Gus Fikri.
Tak heran, sejak duduk di madrasah ibtidaiyah, Gus Fikri sudah sering menjuarai lomba pidato, baik tingkat sekolahnya sendiri maupun antarsiswa SD/ MI di Jember. Bakat dan prestasi itu juga bisa di pertahankan hingga duduk di bangku SMP dan SMA. Bahkan sejak SMP, Gus Fikri sudah di tunjuk sebagai Khatib Jumatan di sekolahnya. "Saya juga kerap menjadi pengganti abah jika berhalangab sebagai khatib di masjid pondok," imbuhnya.
Ayah empat anak kelahiran 9 Januari 1971 memang memiliki kelebihan berdebat, baik menyangkut agama maupun sosial. Makanya, ketika menjadi Mahasiswa FISIP Universitas Jember (1989), nama Gus Fikri sudah cukup tenar. Selain suka berdebat dengan sesama mahasiswa dan dosennya, dia juga kerap diundang untuk diskusi, seminar, maupun acaradi berbagai kampus.
Bukan itu saja, Gus Fikri juga dikenal sebagai tokoh demontrasi yang melibatkan mahasiswa,baik terhadap kebijakan kampusnya sendiri namun kebijakan Pemuda Jember. Salah satu yang spektakuler dan monumental adalah demontrasi menghentikan proyek nasional peredaran SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah, yang jelas-jelas berbau judi), tanggal 12 September 1992.
Dikatakan spektakuler karena diikuti ribuan mahasiswa dan warga masyarakat "mengepung" pemuda, dan kantor-kantor agen penjual kupon SDSB merupakan "proyek nasional" yang didukung kekuatan Orde Baru untuk penggalangan dana olahraga, khususnya sepak bola. "Saat itu mana ada yang berani menolak SDSB, kecuali Jember," kenangnya.
Bektak kegigihan Gus Fikri dan kawan-kawannya sesama mahasiswa, akhirnya Bupati Prijanto Wibowo tak berkutik menghadapi tekanan besar mahasiswa dan Masyarakat Jember. Hari itu juga Bupati Prijanto berpidato di hadapan ribuan demonstran, dan menyatakan SDSB di Jember harus tutup. Padahal, resiko kebijakan penguasa Jember itu tidak ringan,karena harus berhadapan dengan penguasa Orba,Pak Harto.
Karuan saja,sikap tegas bupati dan masyarakat Jember itu mendapat perhatian nasional.Bahkan kemudian diikuti sikap serupa di beberapa daerah,yang akhirnya beberapa bulan kemudian,proyek SDSB benar-benar dihentikan secara nasional oleh pemerintah.
Yang paling menarik,sekaligus,mengharukan,ketika memimpin demo besar itu,Gus fikri cukup mengendalikan dari kursi roda.Itu juga yang dilakukan setiap kali menggelar demo-demo mahasiswa lainnya dari kampus ke kampus.Selain sebagai konseptor,Gus fikri juga bertindak sebagai orator yang memang piawai dan memukau bagi penonton yang melihatnya.
Sakit fisik permanent yang diderita Gus Fikri tersebut sebenarnya bukan bawaan lahir.Namun lantaran kecelakaan sewaktu masih mahasiswa semester satu di unej.Saat itu,bulan juni 1990,dia membawa rombongan keluarga untuk acara halal bihalal Bani Siddiq di Lasem,Rembang,Jateng.Entah mengapa tiba-tiba mobil yang disopiri sendiri mendadak oleng dan masuk sungai Bondoyudo.Seluruh penumpang ikut tercebur sungai,namun yang fatal hanya Gus Fikri.
Meski tak mengalami luka serius,namun bagian kepala membentur benda keras,yang mengakibatkan ada saraf yang terganggu.Akibatnya,kedua kaki Gus Fikri cidera,dan mengharuskan memakai kursi roda hingga sekarang.Meski demikian,sambil berobat dan merutinkan terapi,Gus Fikri tetap melanjutkan kuliah,setelah vakum hampir saya masih dikasih Allah kekuatan nonfisik,"ujarnya.
Menyadari kelemahan fisiknya,suami Hj Salimah,asal Brebes,Jateng ini akhirnya lebih memilih kegiatan mahasiswaan yang bersifat gerakan moral.Di antaranya aktif mengikuti diskusi,seminar,dialog,maupun pengajian.Namun Justru dengan kondisi demikian ini,Gus Fikri lebih sering di undang mengisi berbagai acara tersebut,bahkan kerap diminta sebagai narasumber.
Sedangkan perkuliahannya,lanjut Gus Fikri,tetap bisa berjalan seperti biasa,meski sempat tersendat hampir setahun.Para dosen pun bisa memahami kondisinya,sehingga kerap mendapat kemudahan.Misalnya,proses kuliah dipilih lantai bawah sehingga tak perlu naik turun tangga kampus.Bahkan saat ujian semesteran,juga tak jarang diberi ruang khusus,meski soal ujian tetap sama dengan yang lain.
Bukan itu saja,di pondoknya,putra kelima dari sembilan bersaudara ini,masih dipercaya sebagai pengasuh utama menggantikan ayahandanya,KH Faruq Muhammad,yang meninggal tahun 1998.Maklum dia adalah putra pertama laki-laki,sedang empat kakaknya perempuan.Di pesantren dalam kota ini,Gus Fikri sering mengisi kitab kuning seperti Fathul Mu'in,Fathul Qorib,Jurimiyah,imriti,Riyadussolihin,tafsir Jalalain,dan lain-lain.
Menyinggung pembagian waktu untuk kegiatan sehari-hari,Gus fikri juga tak mengalami kesulitan.Sementara untuk jam istirahat,kata dia,mengikuti pola Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid ),yakni sering tidur di mobil."Ternyata itu lebih nikmat,"tuturnya.Selain ayahandanya sendiri,Gus Fikri mengaku guru ngaji dan inspiratornya sehingga dirinya menjadi orang seperti saat ini adalah KH Yusuf Muhammad(Gus Yus),Gus Nadzir Muhammad,dan KH Achmad Shidiq,ketiganya ulama berpengaruh di lingkungan NU.
Selain mengajar di pesantren,kini Gus Fikri juga mengisi pengajian di Masjid Baitul Amien setiap malam Jumat Wage.Selain itu alumnus Fisipol Unej,jurusan Administrasi Negara itu,juga mengisi ceramah agama di berbagai tempat,termasuk di radio dan telivisi swasta.(sh/c1/hdi)
Sumber:Jawa Pos Radar Jember 16 Agustus 2016
Komentar
Posting Komentar